Apakah Harta Saat Ini Sepenuhnya Milik Kita?
Wakaf Dewan Dakwah - Ada kecenderuangan pada tiap diri manusia terhadap terhadap hal-hal duniawi, yang diantaranya adalah harta. Rasa keinginan dan kecintaan kepada harta bahkan seringkali melebihi apa yang menjadi kebutuhan yang berlaku atas dirinya. Dorongan tersebut merupakan fitrah atau potensi keinginan manusia. Al-Qur’an menyebuktan kondisi fitrah ini dalam surat Ali Imran ayat 14:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik. (Āli ‘Imrān [3]:14).
Syahwat atau potensi keinginan manusia terhadap harta yang dijelaskan Al-Quran ini, yang menjadikan persepsi “indah” dan “baik” dalam pandangan manusia atas harta harta yang diinginkannya. Menurut al-Maraghi dalam menafsirkan ayat tersebut, seseorang yang sudah kelewat batas mencintai syahwat duniawi tidak akan meninggalkan kecintaannya tersebut sekalipun itu tidak berharga, tidak bermanfaat, dan dapat memberikan dampak negatif baginya.
Manusia seringkali mendahulukan keinginannya daripada kebutuhannya. Sehingga pantas kebutuhan dan keinginan dalam teori pemasaran, menjadi faktor penting dalam menentukan keputusan konsumen dalam membeli sesuatu.
Dalam perkembangan riwayat hidup manusia, dorongan hidup ini menjadi sumber atau potensi kekuatan untuk perebutan hidup, yang kuat menguasai, yang lemah menjadi mangsa. Maka dalam islam harta milik terjaga keamanannya, dan ini menjadi salah satu tujuan atau maqasid syariah.
Keamanan jiwa juga keamanan hak milik merupakan syarat utama bagi kesejahteraan hidup manusia bermasyarakat dan bernegara. Meminjam istilah M. Natsir sebagai makhluk sosial, yang hanya hidup dan berkembang maju dalam ikatan kemasyarakatan, maka syarat utama kemajuan dan kemajuan itu ialah berpegang kepada dasar: hidup dan memberi hidup, bukan kepada nafsu berebut hidup.
Harta sebenarnya
Dalam islam hak milik mutlak atas segala sesuatu adalah berada disisi Alllah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ
Milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. (Al-Baqarah [2]:284)
Adapun harta milik seseorang adalah seuatu yang dihasilkan dari usaha seseorang dalam menggunakan dan mengolalah “harta Allah” dan apa-apa yang diterimanya dari hasil usaha orang lain secara sah.
Berdasarkan fungsinya atau manfaatnya harta seseorang kepemilikannya hanya pada tiga hal. Hal ini berdasarkan pesan Rasulullah tentang harta.
يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى – قَالَ – وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ
“Seorang hamba berkata, “hartaku, hartaku!” Sesungguhnya yang menjadi miliknya dari hartanya adalah tiga: Apa yang ia makan dan akan sirna, apa yang ia pakai dan akan usang, dan apa yang ia dermakan akan terkumpul. Selain dari yang tiga itu, maka akan hilang dan ia tinggalkan untuk orang lain.” (HR. Muslim).
Semua harta yang sesesorang miliki, yang selama ini dia nikmati ketika dia meninggal maka semuanya akan hilang, beralih kepemilikannya kepada ahli waris, kecuali harta yang sudah ia dermakan di jalan Allah ketika dia hidup di dunia
Wakaf bisa menjadi pilihan bagi pemilik harta ketika masih hidup, sehingga ketika sudah meninggal harta miliknya bisa “dibawa mati”. Bahkan keberadaan atau wujud harta yang diwakafkan akan senantiasa ada, bahkan berkembang karena wakaf berarti “menahan pokoknya, dan menyalurkan hasil/ manfaatnya.
Wakaf dengan harta terbaik
Puncak kebaikan seseorang diantaranya adalah ketika potensi keinginan dan kecintaan atas harta dimanifestasikan atau diwujudkan dengan wakaf, sehingga ada proses distribusi manfaat dari yang bersifat pribadi (private benefit) kepada manfaat sosial yang lebih luas (social benefit).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍۢ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌۭ ٩٢
Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya. (Āli ‘Imrān [3]:92).
Ayat ini telah menggerakan hati seorang sahabat Abu Thalhah untuk menyerahkan harta terbaiknya berupa kebun Kurma yang sangat dia cintai. Lokasi yang strategis di kota Madinah, kebun yang produktif menhasilkan buah yang banyak, tentunya memiliki nilai ekonomi yang sangat besar. Maka pantaslah pemiliknya mencintainya. Namun keimanan telah menggeser bahkan mengubah kecintaan duniawi kepada kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Keimanan inipula telah memperluas manfaat hartanya, inilah bentuk sempurnanya kebaikan.
Tentang contoh teladan para sabahat atas wakaf harta terbaik sebelumnya dilakukan oleh Sahabat Umar ibn Khatab yang mewakafkan tanah Khaibar. Kisah kedua sahabat ini menjadi inspirasi dan motivasi bagi sahabat lainya untuk berwakaf, Bahkan umat islam secara umum.